Rabu, 07 September 2016

Upojiki 1

Pertemuanku dengan Suga bukan sesuatu hal yang menarik, aku bertemu dengannya di akhir perkuliahan saat dia meminjam teks book milikku. Tanpa melihat mata atau setidaknya meminta izin kepadaku dia langsung mengambil buku itu dari tanganku dan meminta untuk meminjamnya untuk di copy dan akan dia kembalikan besok.

Dia memberikan ku nomor teleponnya untuk di hubungi. Seketika aku tau Suga telah mencuri perhatianku sejak aku mendengar namanya disebut oleh seorang dosen favoritku, aku bertanya-tanya siapa dia, bagaiamana dia dan akhirnya aku mengenalnya saat ia meminjam buku ku tanpa berkenalan lebih awal denganku atau setidaknya menanyakan namaku.
Dua hari berlalu aku menunggu dia mengembalikan buku ku, bahkan sempat aku menunggunya di kampus sesuai janjinya tapi tak muncul batang hidungnya sekalipun. Dan ternyata buku itu telah dititipkan oleh salah seorang temanku bernama Tia. Aku pernah melihat Tia memang akrab dengan Suga, pernah di koridor kampus aku melihat dia dan Suga begitu dekatnya. Entah dari mana kecemburuan itu segera menelusup ke hatiku tanpa aku ketahui kapan aku memulainya. Mungkinkah itu cinta??, entahlah. Tidak ada manusia yang mungkin tahu persis sejak kapan dia jatuh cinta, jika cemburu adalah sebuah tanda cinta, namun masih banyak tanda-tanda lain yang belum bisa dikatehui sehingga memutuskan apakah kau jatuh cinta atau tidak bukan suatu perkara yang mudah. Cinta memang seperti itu, manusia tidak pernah tahu kapan dan bagaimana cara kau akan jatuh cinta lagi. Dan mungkin bagaimana kau jatuh cinta pada orang lain setelah kau mencintai orang lain. Mungkin aku jatuh cinta pada Suga setelah aku mencintai Fatah atau mungkin juga tidak seperti itu. Yang kutahu aku cemburu, itu saja.

Malam setelah aku melihat Suga dan Tia, aku memandangi langit dengan bulan purnama merekah, aku bertanya mengapa aku bisa secemburu ini. Apa yang terjadi denganku, bukankah jika seperti ini aku telah menjadi perempuan tidak setia kepada Fatah??.. Telepon dari Fatah menghancurkan lamunanku. Seperti biasanya dia menanyakan kabarku dan kesehatanku, walaupun Fatah berada satu universitas denganku, tetap saja Fatah jarang sekali menemuiku, aku tahu dia sedang sibuk menggambar di Laboratorium. Fatah memang selalu ulet dan bertanggung jawab. Namun dia tidak pernah melupakanku disela kesibukannya, dia meneleponku setiap selesai sholat magrib, saat pagi. Fatah bukan seorang yang romantis, tapi masalah tanggung jawab dan kesetiaan aku bisa memercayainya.

Setiap kali mendapati diriku dalam kegundahan seperti ini aku selalu bersembunyi diantara buku-buku. Aku menghabiskan banyak buku, menulis puisi tentang kegamanganku. Di kelas aku punya seorang teman bernama Adi. Dia teman yang juga bisa kupercaya, Adi selalu senang membaca tulisanku dan selalu berkomentar tentang semua tulisan-tulisanku. Sampai akhirnya dia tahu aku sedang gundah karena sesuatu. Di seperti seorang yang sok tahu tapi dia memang seorang pembaca tulisanku yang paling setia. Di sebuah gazebo kampus akhirnya aku bercerita tentang kecemburuanku kepada Suga. Adi adalah teman baik Suga, dia tak percaya aku bisa diam-diam menyukai Suga, tak terlihat sedikitpun atau setidaknya terbaca olehnya. Selalu saja diakhir dia berkata “kamu emang seorang perempuan misterius”.
Aku dan Suga Berbeda.

aku tidak menyerah, hanya saja kaki kecilku ingin beristirahan sejenak

Aku menulis untuk menasehati dirku sendiri, atau mungkin aku sedang membujuk diriku sendiri yang diam-diam kesal pada keakuanku. 

Belajar tidak hanya mengenai proses, belajar juga berarti bersedia bersabar pada setiap ketidakmapuan. 

Kata ini menjadi penenang ketika harus tersandung oleh kerikil kecil yang menusuk dan menghambat jalan. Namun bukan berarti itu menjadi alasan untuk berhenti dan patah. Ya tentu saja bagi orang-orang yang telah dewasa ini menjadi mudah, tapi tidak mudah bagi anak kecil yang berpura-pura menjadi dewasa. Mereka telah berteriak mendukung untuk terus maju, menjadi tutor dan mengajak untuk berlari bahkan menjadi harapan dan kepercayaan.

 Lalu mengapa aku masih berdiri disini?, di persimpangan hatiku, setiap riak fikiranku aku mengerti posisi mereka yang mengiginkanku maju, aku mengerti bahwa semua menginkan yang terbaik bagiku, agar aku tak tertinggal jauh, agar aku berlari, agar aku terus memperpendek jarak yang telah kubuat diantara mereka. 

Sesungguhnya aku ingin berlari, aku ingin, sangat ingin. Tapi kakiku sakit, ada kerikil tajam yang harus kukeluarkan dulu dari telapak kakiku. Aku mencoba berlari tapi dalam perjalanan aku kesakitan, semakin sakit dan jatuh. Yaaa aku terjatuh, aku tersungkur ditengah perjalanan, bukan karena aku menyerah tapi aku hanya tak kuat lagi untuk berlari. 

Seolah riak-riak dukungan menjadi himpitan bagiku. Aku mengerti mereka tak menghimpitku, aku saja yang sedang kesakitan dan tak mampu berdiri. Lalu kubungkus bebanku dalam diam dan mulai berlari lagi dan lagi. Tapi ternyata semakin aku mencoba kerikilnya semakin menyakitiku. Lalu kuputuskan untuk diam, kuputuskan untuk berhenti dan menerima kalau aku harus berhenti disini. Lalu biarlah jarak membentangkan aku dan kalian. 

Entah aku mencoba membuat apologi tentang ketidakmampuanku, tapi apa yang harus kulakukan,kakiku tak cukup kuat sekarang.  Mungkin sesekali kita harus berhenti sejenak, melepaskan kerikil yang mengganjal, membiarkan kesakitan menjadi teman, diam dan tak harus melawan kesakitan. Sesekali kesakitan menginginkan kita beristirahat, melemah sampai saatnya dia pergi dan membiarkan kita kembali berlari dan berjuang. 

Maafkan aku, DIRIKU… keakuanku telah memaksamu terlalu jauh, maka kubiarkan engkau menangis sesukamu, kamu berhak beristirahat dan terlelap. Kamu tak harus selalu berjuang untuk keakuanku. Maka biarkan malam ini kita bersandar di Gua dan menidurkan ambisi yang melelahkanmu dan membuatku lupa dengan keadaanmu. Mari kita bersantai meminum segelas anggur yang memabukkan. Hingga kita terlelap. Lalu biarkan matahari pagi membangunkan kita lalu berjuang kembali. Biarkan mereka pergi, tak apa jika kita tertinggal,setidaknya kita telah beristirahan dan menumbuhkan benih-benih mimpi yang ingin di perjuangkan esok pagi.. 

Maka apakah kau setuju denganku, maafkan keakuanku dan marilah berdamai dengan dirku, kesalahanku dan ketidakmampuanku hari ini. Aku berjanji besok kita akan jauh lebih kuat. BUkankah hidup tak selalu berada di puncak?? Bukankah hari ini telah mengajarkan kita tentang cerita gelas kosong? Buknkah hari ini mengajarkan kita untuk banyak menunduk dan jauh lebih sadar bahwa diatas langit masih ada langit??. Diriku, genggamlah tanganku dan dan mari berterimakasih  pada setiap kegagalan.