Senin, 07 April 2014

MODEL KONSELING MULTIKULTURAL : FAKTA BERDASRKAN PRAKTIK KONSELING DAN TERAPI MULTIKULTURAL


MODEL KONSELING MULTIKULTURAL :  FAKTA BERDASRKAN PRAKTIK KONSELING DAN TERAPI MULTIKULTURAL




A.    Pendahuluan
Perubahan sosial yang pesat berupa akulturasi budaya sebagai akibat globalisasi meningkatkan frekuensi pertemuan antar lintas budaya langsung dan tidak langsung yang difasilitasi oleh teknologi canggih, transportasi, telekomunikasi, diversifikasi, dan migrasi penduduk secara besar-besaran. Pertukaran informasi yang sangat cepat menyebabkan banyak masalah psikologis dimasyarakat yang akhirnya menuntut para konselor dan terapis mengembangkan model konseling/terapi berbasis multicultural. Pengembangan terapi ini diharapkan mampu menjadi teknik yang dapat diterima secara universal di masyarakat global saat ini. Salah satu teknik yang dikembangkan pada pembahasan ini adalah Cognitif-Behavior Terapi berbasis praktik empiris dan penggunaan meta-analisis dalam penerapannya pada masalah-masalah masyarakat yang disesuaikan dengan koteks budaya yang dianut klien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan teknik terapi kognitif-behavior yang disesuaikan dengan konteks budaya masyarakat memberikan fungi terapis yang menyembuhkan.

B.     Globalisasi, Difersifikasi, Konseling dan Terapi Multikultural
Adanya perubahan sosial yang sangat pesat, menjadi bagian yang penting bagi perkembangan konseling multicultural dan terapi multicultural dalam 25 tahun terakhir Salah satu penyebab utamanya adalah perubahan sosial berupa globalisasi dan peningkatan frekuensi pertemuan antar lintas budaya langsung dan tidak langsung yang difasilitasi oleh teknologi canggih transportasi dan telekomunikasi. Sumber kedua adalah perubahan gelombang di seluruh dunia melalui migrasi.
 Contohnya imigrasi skala besar terjadi di Amerika Serikat dimana imigram dari Amerika Latin dan Asia telah berkontribusi terhadap keragaman etnis, penduduk minoritas tumbuh 11 kali secepat penduduk Putih  Non-Hispanik antara 1980 sampai 2000, peningkatan persentase dalam populasi Asia dan Kepulauan Pasifik adalah 204% dan untuk populasi Hispanik, 142%.
 Akibatnya, di Amerika Serikat, penduduk minoritas meningkat dengan penurunan nilai pada populasi non-Hispanik Putih. Sifat multikultural masyarakat menjadi fitur permanen dimana budaya dunia telah mendapatkan kompleksitas. Keanekaragaman telah menjadi kata sehari-hari untuk mengkarakterisasi dunia hari ini.
Menurut Mansella (1998) pengembangan psikologi komunitas global bertujuan untuk mengenali, mengakui, dan keragaman dengan mengutamakan analisis budaya tindakan manusia. Pendukung psikologi global yang bekerja pada teori, penelitian, intervensi, dan pedagogi dari kedua perspektif universal dan adat untuk mempromosikan visi global konseling psikologi dengan tujuan mengembangkan model konseling multikultural dengan pandangan dunia yang fleksibel.
Sehingga di era globalisasi ini, ada peningkatan kebutuhan pelatihan konselor dan terapis budaya yang kompeten untuk memberikan konseling dan terapi budaya dan didukung secara empiris baik di dalam maupun di luar negara asal mereka (Hall, 2006). Keragaman, globalisasi, dan pengembangan kompetensi budaya menjadi aspek mendorong seseorang harus memiliki keterampilan beradaptasi untuk sukses dalam lingkungannya (Sternberg & Grigorenko, 2004; Sue, 1998).  Sehingga  profesi konselor maupun psikolog memiliki kewajiban mengembangkan kompetensi kesadaran multikultural. Kompetensi multikultural harus generik untuk semua bentuk konseling dan terapi, hal mencakup kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan yang berkontribusi terhadap pengembangan "konseling berpusat budaya" (Pedersen , 1997).
Globalisasi dan diversifikasi memfasilitasi penyebaran informasi yang memperoleh manfaat dari pengetahuan. Salah satu terapi cognitif-behavior telah dipraktekkan di berbagai belahan Asia. (Qian & Wang, 2005) menganalisis konsistensi konseptual terapi perilaku, terapi cognitif-behavior, dan filsafat Taoisme China yang selanjutnya, pada tahun 2006, Konfrensi Asia Cognitive Behavior Therapy (CBT) menghasilkan penilaian berbasis bukti, teori, dan praktek di negara-negara Asia (Jepang, Korea, Cina, Thailand, Singapura, dll).
Hasil konfrensi tersebut menganjurkan terapi berbasis bukti sebagai standar untuk praktek klinis. Praktek terapi cognitif-behavior telah diperpanjang jauh melampaui batas-batas budaya asal-usul perkembangan mereka di Amerika Utara dan Eropa. Pada saat yang sama program-program Konfrensi Asia Cognitive Behavior Therapy menghasilkan prosedur berorientasi Timur seperti meditasi dan kesadaran. Selain itu, integrasi praktek Timur sebagai bagian integral dari terapi cognitif-behavior di negara-negara Asia merupakan adaptasi budaya terapi perilaku kognitif yang secara spesifik berisi tentang aspek universal dan budaya tertentu dari prosedur CBT. 
Salah satu adaptasi  Jepang tentang terapi CBT adalah terapi komitmen (ACT) yang dikembangkan oleh Hayes. Peningkatan dalam pelatihan keterampilan sosial (SST) untuk anak-anak sebagai bagian dari kegiatan kelas reguler diadaptasi dan dikembangkan pedoman SST. Penyebaran terbaru dari terapi kognitif-behavior untuk negara-negara non-Barat menunjukkan minat mereka dalam pendekatan berbasis bukti dalam pelayanan kesehatan mental, intervensi sekolah, dan konsultasi.
Evaluasi terapi kognitif-behavior menggunakan analisis fungsional sebagai alat pengumpulan data yang sistematis untuk menganalisis interaksi perilaku sasaran dan peristiwa lingkungan, termasuk tanggapan dari lingkungan sosial, dan mengembangkan hipotesis tentang target penyebab dan pemeliharaan perilaku yang dipilih (Sturmcy, 1996). Analisis fungsional menekankan pendekatan ideografik untuk penilaian dalam lingkungan budaya langsung individu. Contohnya untuk menggambarkan, gejala serangan panik (seperti, mual, sakit kepala, pusing, mati rasa). Terapis menilai keterkaitan antara tiga unsur urutan anteseden-perilaku-consecuence dan mengembangkan hipotesa tentang faktor-faktor lingkungan mempertahankan gejala somatik dari serangan panik dan perilaku menghindar. Meskipun analisis fungsional akan mengungkapkan hubungan sistematis antara isyarat lingkungan yang terkait dengan gejala somatik, klien dapat menggunakan penjelasan alternatif dari pengalaman menyedihkan yang sama berdasarkan keyakinan budaya tentang kesehatan dan perilaku penyakit.
Dua domain yang tumbuh dalam psikoterapi yaitu psikoterapi multikultural dan psikoterapi didukung secara empiris (Chambless & Ollendick, 2001) dengan fokus pada terapi kognitif-behavior. Perspektif multikultural yang nyata diperlukan untuk memberikan budaya responsif terapi cognitif-behavior kepada orang lain dari latar belakang budaya yang beragam, baik nasional maupun internasional (Hays & Ivvamasa, 2006; Tanaka-Maisumi, Higginbotham, & Chang, 2002) yang bertujuan untuk mengintegrasikan perspektif multikultural dengan pendekatan fungsional untuk terapi kognitif-behavior.

C.    Psikoterapi : Memprediksi Pertumbuhan Terapi Kognitif Behavior dan Terapi Sensitif-Budaya
Menurut Draguns (1975) psikoterapi yang berorientasi budaya adalah prosedur yang berakhir pada sosiokultural dan interpersonal dalam kemampuannya. Hal tersebut terjadi antara dua atau lebih individu dan dalam konteks lebih luas, kurang terlihat, konteks budaya kurang nyata dengan pembelajaran sosial bersama, menyimpan makna, simbol, dan asumsi implisit tentang sifat kehidupan sosial.
Menurut Draguns (2004, 2007) kriteria untuk menentukan psikoterapi kontekstual  dan meninjau status intervensi psikoterapi untuk psikologi global.  Konksistensi keragaman sistem terapi yang berada dari budaya yang berbeda, berupa terapi adat (seperti Morka dan terapi Naikan Jepang) untuk psikoanalisis modern, dan terapi cognitif-behavior di seluruh dunia. Berbagai praktik psikoterapi budaya dalam beragam bentuk mencerminkan pandangan masyarakat adat, kesehatan dan penyakit dengan cara untuk membantu individu yang mengalami masalah.
Globalisasi telah mengubah cara pandang dan bagaimana kita melaksanakan tugas profesi kita. Dalam dekade terakhir upaya mengumpulkan informasi dengan cepat pada terapi empiris didukung untuk masalah tertentu seperti kecemasan dan gangguan suasana hati. Mayoritas terapi empiris didukung secara luas dan diklasifikasikan sebagai terapi kognitif-behavior. Kolaborasi sumber daya dan hasil penelitian didasarkan pada definisi ilmiah dan  efektivitas terapi dimana dikumpulkan dari studi terkontrol melalui meta analisis dalam rangka untuk memperoleh pengaruh terapi untuk gangguan/masalat tertentu (Lambert & Archer, 2006; Lipsey & Wilson, 1993). Selain itu, para profesional dan konsumen memiliki akses informasi yang sama di Internet. Seiring waktu klien akan belajar untuk mengharapkan "terapi terbaik yang tersedia" yang sesuai dengan budaya mereka di era teknologi informasi.
Terapi cognitif-behavior telah membuat langkah besar dalam 30 tahun terakhir.  Dalam survei yang dilakukan setiap 10 tahun dengan menggunakan metodologi Delphi, sebuah panel dari 62 ahli psikoterapi di Amerika Serikat memperkirakan trend psikoterapi menuju 2010. Para ahli memperkirakan bahwa terapi cognitif-behavior, terapi sensitive budaya/multicultural, kognitif (Beckian), terapi antarpribadi (IPT), dan teknis eklektisisme akan menjadi lima orientasi teoretis yang paling berpengaruh atas dalam psikoterapi Sebaliknya, psikoanalisis klasik, implosive terapi, analisis transaksional, dan terapi Adlerian diperkirakan menurun. Peneliti memperkirakan bahwa 18 dari 38 model intervensi akan meningkat pada tahun 2010. Peneliti menyebutkan terdapat 4 skenario intervensi yang sering digunakan meliputi: (a) lisensi wajib di tingkat master, (b) diperlukan penggunaan psikoterapi berbasis bukti oleh sistem perawatan kesehatan; (c) kebutuhan untuk memberikan terapi berbasis bukti untuk gangguan tertentu di fasilitas pelayanan kesehatan, dan (d) penggunaan pedoman praktek sebagai bagian dari praktek klinis standar. Prediksi ini konsisten dengan saat ini, meningkatnya permintaan terapi sensitive budaya dan psikoterapi yang efektif khususnya untuk kelompok etnis minoritas di Amerika Serikat (Hall, 2001;. Miranda et al, 2005).

D.    Praktik Berbasis Fakta, Akulturasi, dan Akomodasi Budaya
Praktik berbasis fakta dalam psikologi (EBPP) adalah integrasi dari penelitian terbaik dengan keahlian klinis dalam konteks karakteristik klien, budaya, dan preferensi.  Pertimbangan keanekaragaman telah mendapatkan momentum, yang mencakup referensi eksplisit budaya dan preferensi individu. Implikasi dari definisi ini mengadopsi praktek berbasis literatur (misalnya, Goodheart, Kazdin, & Sternberg, 2006; Hunsiey, 2007). Satu pertanyaan penting menyangkut ketersediaan dan akses ke praktik terbaik yang tersedia dalam masyarakat budaya yang beragam.
Secara khusus, kompetensi yang diperlukan untuk melakukan EBPP, diidentifikasi delapan kompetensi, yang masing-masing sangat relevan dengan praktek penilaian budaya responsif dan psikoterapi. Delapan kompetensi adalah (a) penilaian, penilaian diagnostik, formulasi kasus sistematis, dan perencanaan terapi, (b) pengambilan keputusan klinis, terapi dan pemantauan kemajuan; (c) keahlian interpersonal, (d) refleksi diri dan keterampilan penerimaan; (e) evaluasi empiris dan penelitian; (f) memahami pengaruh perbedaan individu dan budaya terapi (g) mencari sumber daya yang tersedia, dan (h) memiliki alasan kuat untuk strategi klinis.
Delapan kompetensi tersebut dihubungkan oleh empirisme dan perspektif multikultural. Keragaman demografi karena masuknya imigran dan pendatang menciptakan tantangan bagi konselor profesional dan terapis.  Peningkatan diversifikasi contohnya masyarakat AS, membuat Amerika Serikat salah satu terbesar negara pemukiman pengungsi di dunia. Secara luas bahwa pengungsi adalah populasi dengan risiko tinggi untuk mengembangkan masalah psikologis yang parah karena sifat ganda dan trauma yang telah mereka alami. Trauma pra-migrasi termasuk perampasan kebutuhan dasar, cedera fisik dan penyiksaan, penahanan, camp pendidikan ulang, penyiksaan dan pembunuhan (Bemak & Chung, 2002). Pengungsi 'post-migrasi dengan mudah dapat menghasilkan masalah tambahan dari pemukiman dan akulturasi stres.
Jurnal Kognitif  Behavior menfokuskan seluruh masalah dengan adaptasi budaya pada pengungsi di Asia Tenggara dengan gangguan stres pasca-traumatik. Bahwa budaya benar-benar membentuk dan menentukan persepsi, penalaran secara mendalam. Hal ini adalah arah yang penting untuk diteliti di masa depan, dimana penelitian saat ini hanya melaporkan komposisi etnis sampel penelitian. Mengakui dan menggabungkan budaya dalam proses terapi yang didukung secara empiris memungkinkan untuk mengembangkan komponen terapi yang efektif yang temukan dalam satu budaya ke budaya lain, (Hoffmann, 2006)
Sehingga, terapis kognitif-behavior dihadapkan dengan proses terapi pada klien yang beragam, dengan adanya adaptasi budaya, praktek terapi perilaku kognitif konvensional mungkin gagal untuk memenuhi kebutuhan mereka, Dengan berbasis empiris, praktek klinis perlu diperiksa untuk kesesuaian dalam konteks multikultural.
Selain itu, Penilaian empiris akulturasi harus menjadi bagian integral dari penilaian berbasis bukti. Bahkan, ada peningkatan kebutuhan dari proses akulturasi yang dibuktikan dalam publikasi yang komprehensif baru pada psikologi akulturasi (Sam & Berry, 2006). 
 Redfield, Linton, dan Herskovirs (1936) mendefinisikan akulturasi sebagai fenomena-fenomena yang terjadi ketika kelompok individu yang memiliki budaya yang berbeda datang secara berkelanjutan pada kontak pertama, dengan perubahan berikutnya dalam pola budaya asli salah satu atau kedua kelompok, tingkat individu, akulturasi didefinisikan sebagai proses adaptasi psikologis mempengaruhi pendatang, imigran, dan pengungsi (Berry & Sam, 1997; Ward, Bochner, & Furnham, 2001). 
Hasil Akulturasi mengacu pada tingkat keberhasilan proses akulturasi. Vijver dan Matsumi membedakan tiga jenis hasil akulturasi yaitu
1.       Penyesuaian psikologis dan melibatkan kondisi psikologis yang disebabkan oleh akulturasi dan biasanya berhubungan dengan kesejahteraan dan kesehatan mental.
2.      Kompetensi sosiokultural dalam domain yang besar dan melibatkan pengetahuan tentang bahasa dan budaya dari domain asal. 
3.      Hasil ketiga adalah kompetensi sosial budaya dalam budaya asal (misalnya, pemeliharaan keterampilan linguistik dalam warisan budaya) dan perubahan kompetensi ini sebagai variabel hasil.
Stres akulturatif mengacu pada stres yang disebabkan oleh akulturasi. Jarak budaya yang dirasakan mungkin adalah prediktor terbaik dari stres akulturatif. Hal ini juga relevan dengan hubungan terapis-klien dalam terapi dan konseling multikultural (Comaz-Diaz, 2006; Muran, 2006). Orientasi Akulturasi juga relevan untuk menangani berpengalaman stress klien. Sebuah strategi integrasi bicultural atau multikultural cenderung negatif terkait dengan stres. Sebaliknya, marginalisasi sering dikaitkan dengan tingkat stres yang tinggi (Arredondo, 2002). 



A.    Efektifitas Ilmiah dan Efektifitas Klinis : Diseminasi Empirik Yang Mendukung Terapi
Dalam dekade terakhir, para peneliti psikoterapi telah melakukan investigasi aktif  antara bukti penelitian dan bukti klinis. Masalah ini menyangkut persamaan dan perbedaan dalam kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi hasil dalam penelitian dan praktek yang ditarik melalui efektifitas terapi, ada dua kriteria untuk mengevaluasi efektivitas psikoterapi yaitu kemanjuran terapi mengacu pada hasil yang diperoleh dalam penelitian eksperimental dan efektivitas terapi mengacu pada hasil dalam pengaturan naturalistik praktek klinis.
Terapi empiris didukung secara ilmiah dan internal berlaku untuk kelompok tertentu dari klien. Terapi secara empiris didefinisikan menurut beberapa kriteria (Chambless & Ollendick, 2001). Selain percobaan terkontrol acak sebagai kriteria untuk mengevaluasi terapi ilmiah, pengembangan terapis manual, deskripsi rinci dari peserta penelitian psikoterapi, dan setidaknya dua studi ilmiah independen dengan hasil yang signifikan yang diperlukan untuk membangun bukti untuk efektivitas terapi. 
Secara khusus, jika terapis menggunakan terapi empiris didukung dari luar batas-batas budaya klien, mereka harus memasukkan fitur akomodasi budaya yang relevan ke dalam terapi standar. Upaya untuk menyebarkan terapi ke masyarakat dan setiap klien akan tergantung pada akomodasi budaya dan adaptasi budaya dengan kelompok klien yang beragam. Membangun hubungan antara efektivitas terapi dan efektivitas klinis dengan kelompok klien beragam budaya merupakan tujuan penelitian yang mendesak (Bernal, Bonilla, & Bellido, 1995; Hall, 2001).
Banyak terapi empiris menggunakan teknik terapi cognitif-behavior, Contohnya pada seseorang yang mengalami depresi berat, gangguan panik, fobia sosial, bulimia, gangguan stres pasca-trauma, serta masalah psikofisik seperti sakit kepala ketegangan dan rheumatoid arthritis dari latar belakang budaya yang beragam termasuk Puerto Rico, Afrika Amerika, dan Latin di Amerika Serikat. Tinjauan ini menunjukkan bahwa efektivitas terapi empiris didukung tergantung pada penilaian tertentu dan bukan pada kategori etnis klien atau status minoritas seseorang
Evaluasi yang sistematis mencakup lima langkah dalam praktek klinis: (a) spesifikasi dan penilaian dari tujuan terapi eksplisit; (b) spesifikasi dan penilaian terhadap prosedur dan proses; (c) Pemilihan langkah-langkah, (d) penilaian berkelanjutan pada beberapa kesempatan untuk melacak jalannya terapi, dan (e) evaluasi data. Penilaian lengkap kasus individu memiliki keuntungan dari pengumpulan data secara sistematis tanpa bergantung pada kelompok data, yang tidak benar-benar mencerminkan individu tertentu dalam terapi. Wacana ini hadir pada pro dan kontra dari desain studi pengaruh dan efektif menginformasikan kepada kita tentang perlunya untuk melacak perubahan klien untuk melakukan penilaian klinis terbaik. Penilaian multikultural dapat dilakukan dalam data menghasilkan cara yang sama.

B.     Multicultural Cognitive Behaviour Therapy
1.   Analisis Pendekatan Fungsional
Evaluasi Cognitif-behavior terapi didasarkan pada penggunaan empirical single-subject designs dan penilaian hubungan fungsional antara perilaku klien dan lingkungan. Langkah Penilaian Fungsional budaya Informed (CIFA) melalui kerangka ABC






Penilaian Fungsional budaya Informed (CIFA)


Identitas budaya klien dan tingkat akulturasi
Menyajikan maslaah klien
Konseptualisasi masalah klien dan kemungkinan solusi
Assesment fungsional dari antecendent-target-consequence
Identifikasi masalah perilaku
Assesment antecendent dan consequence
Pemilihan perilaku sasaran untuk perubahan
Pemilihan alternatif perilaku
Pemilihan teknik intervensi
Pemilihan agen perubahan
Memperhatikan motivasi dan pengembangan faktor
Evaluasi proses dan hasil
Negosiasi analisis fungsional dan penjelasan kausal dari masalah klien
Pengembangan rencana perawatan yang dapat diterima semua pihak
Pengumpulan Data
Diskusi durasi pengobatan,
course, dan pengecualian hasil

Sources : Nezu, nezu, Friedman & Haynes (1997); Seiden (1999); Tanaka-Matsumi, Seiden, & Lam (1996
Tujuan dari analisis fungsional adalah "identifikasi, pengontrolan, hubungan fungsional kausal untuk perilaku target klien/individu tertentu" (Haynes & O'Brien, 1990, hal. 654). Setelah perilaku sasaran, tugas ini adalah untuk memantau terjadinya perilaku sasaran dan kejadian dari situasi tertentu, dan konsekuensi perilaku target, termasuk respons orang lain dan perilaku seseorang konsekuen sendiri dalam hubungan sosial klien. 
Menurut Toyokawa dan Nedate (1996) kasus terapi kognitif-behavior pada klien perempuan Jepang dengan presentasi masalah masalah interpersonal lama termasuk tekanan perkawinan. Klien dilatih untuk menggunakan Pemikiran Rekam disfungsional untuk memonitor pikirandan perasaan dia setiap kali klien memiliki kesulitan interpersonal. 
Tujuannya adalah untuk menunjukkan sifat irasional harapan dan keyakinan dalam situasi sosial dalam konteks budaya Jepang. Klien mampu memonitor pikirannya dalam situasi sosial. Analisis fungsional menyediakan informasi yang dapat langsung diterapkan untuk formulasi kasus. Artinya, dengan merekam data kontingensi tiga jangka anteseden, perilaku sasaran, dan konsekuensi, secara berulang, terapis mulai melihat konsisten terjadinya diprediksi perilaku sasaran dalam situasi tertentu. Pemantauan hati-hati dari peristiwa konsekuen juga mulai memprediksi apakah atau tidak perilaku yang sama akan terjadi lebih atau kurang sering di masa depan.
Analisis fungsional adalah proses yang berkelanjutan di mana terapis memonitor variabel terapi dan perilaku sasaran sepanjang durasi terapi, dan menyediakan suatu pendekatan empiris untuk formulasi klinis kasus, intervensi, dan evaluasi (Haynes &: O'Brien, 1990, 2000). Analisis fungsional melibatkan formulasi dan pengujian hipotesa mengenai variabel yang menentukan perilaku yang diperhatikan/diteliti (Sturmey, 1996). 
Pedoman yang mendasari banyak terapi berbasis bukti untuk gangguan tertentu adalah analisis fungsional perilaku klien dan lingkungan sosialnya. Budaya merupakan bagian integral dari konteks, yang harus dievaluasi secara cermat melalui analisis fungsional (Hayes & Toarmino, 1995; Tanaka-Matsumi, dkk, 2002). Fleksibilitas dan empirisme yang mendasari analisis fungsional harus sesuai dengan penilaian faktor budaya saat mereka berinteraksi dengan masalah target yang dipilih klien. Hal ini terjadi dalam praktek berbasis bukti dengan beragam klien dalam pengaturan beragam (Tanaka-Matsumi, 2004).

2.      Kognitif Bhavior Therapy Responsif Budaya
Cognitive-Behavioral Therapy responsive budaya: Assessment, Praktek, Pengawasan menandai awal baru dalam terapi kognitif-behavior  dan konseling multikultural. Budaya responsif, terapis cognitif-behavior dilatih untuk mengajukan pertanyaan penting berkaitan dengan hubungan fungsional antara ekspresi nilai-nilai marabahaya dan budaya klien, atau dampak dari etnis klien dan religiusitas dalam mengatasi masalah. Analisis kognitif-behavior yang sensitif budaya mengatasi beberapa gejala somatik PTSD dan serangan panik. Analisis fungsional mengidentifikasi kejadian sebelumnya dan konsekuensi dari perilaku bermasalah dalam jaringan sosial klien. Faktor budaya dipandang tertanam dalam lingkungan sosial yang lebih besar klien dan sejarah penguatan (Biglan, 1995; Skinner, 1971). Selanjutnya, Beberapa penelitian Cognitive Behavioral dan praktek yang mengembangkan adaptasi budaya empiris didukung terapi Cognitif-Behavioral pada gangguan kecemasan dengan melakukan penilaian fungsional untuk mengidentifikasi pemicu takut atau perangsang ketakutan klien dan factor yang dapat mengurangi kecemasan klien.
Hinton dan Otto (2006) melakukan analisis budaya gejala somatik dari serangan panik dalam trauma para pengungsi Kamboja yang menerima terapi kognitif-behavior di Boston. Para penulis memperkenalkan sindrom budaya Kamboja “weak heart” didasarkan pada akun etnografi "angin" sebagai agen penyebab gejala kecemasan yang menghasilkan somatisasi penderitaan yang terkait dengan trauma. Mereka berhipotesis bahwa “weak heart” menghasilkan "sindrom yang dihasilkan kognisi bencana dan somatisasi" (Hinton & Otto, 2006). Karena konseptualisasi budaya "“weak heart”, pengungsi Kamboja mengalami beberapa gejala somatik selama dibebrapa tahap masalah. Klien menjadi hiper waspada dimana gejala tubuh mereka mengindikasikan “weak heart.  Perhatian berfokus pada diri sendiri mengaktifkan otonomi sistem saraf.  Hinton dan Otto {2006) mengamati bahwa pengungsi Kamboja biasanya menafsirkan serangan panik sebagai "wind attack" sehingga mereka kemudian memiliki self-statement untuk menghapus angin. 
Gejala somatik serangan panik (seperti pusing, jantung berdebar, dan ekstremitas dingin) yang dipicu oleh pendahulunya tertentu. Dalam kasus ini, anteseden menginduksi gejala somatik bisa menjadi suara keras, seperti awal tiba-tiba mesin mobil, kebisingan yang sama menghasilkan ketakutan untuk masyarakat Kamboja dan akhirnya menghasilkan perilaku target seperti pusing, jantung berdebar, dan kedinginan yang ekstrim. Mereka dapat menjelaskan bahwa jantung mungkin "lemah," yang dimulai siklus asosiasi trauma. Individu kemudian dapat terlibat dalam menyelematkan diri melalui melarikan diri dari angin. Perilaku ini kemudian diperkuat keselamatan dengan pengurangan rasa takut.
Hinton dan Otto (2006) mengusulkan bahwa terapi somatik yang berfokus bagi pengungsi Trauma akan sangat tepat. Awalnya, mereka menaruh perhatian terhadap keluhan somatik para pengungsi trauma dan menggambarkan bagaimana sensasi yang diinduksi serta sifat kognisi sensasi terkait (misalnya, asosiasi trauma, kognisi bencana). Penilaian kemudian difokuskan pada penilaian sensasi somatik dan anteseden dan acara konsekuen. Perlakuan mengikuti pedoman pengobatan CBT PTSD menggunakan komponen yang sama seperti relaksasi, paparan sensasi somatik, dan belajar kembali dari asosiasi gejala somatik dengan peristiwa lebih positif. Somatik sama dengan musuh dalam terapi cognitif-behavior adalah budaya diadaptasi terapi cognitif-behavior untuk serangan panik yang sesuai Kamboja "model penjelasan penyakit" (Kieinman, 1980).
Menurut Otto dan Hinton (2006) unsur-unsur inti dari terapi berbasis eksposur dimana terapis dengan klien pengungsi Kamboja bernegosiasi model yang jelas, karena mereka banyak menjelajahi pentingnya keyakinan budaya khusus tentang "angin" bepergian melalui pembuluh dalam tubuh dan menciptakan kondisi tubuh yang berbahaya. 
Para terapis melakukan sesi di sebuah kuil Budha lokal dengan penerjemah. Mereka juga mendorong penggunaan metafora budaya gejala somatik dan konsep budaya Kamboja bila memungkinkan para penulis menyatakan: "Mengingat bukti bahwa paparan interoceptive, dalam kombinasi dengan restrukturisasi kognitif, sangat membantu dalam kasus-kasus gangguan panik komorbiditas dengan PTSD, kami merasa percaya diri dalam aplikasi kita dari prosedur ini, asalkan kita peka terhadap cara pengobatan kami berinteraksi dengan budaya keyakinan tertentu "(Otto & Hinton, 2006, hal. 265).
Intervensi terapi yang lain dan sesuai dengan budaya untuk Trauma pengungsi Vietnam menggunakan Multiplex (TCMIE) Model of Panic Generation.  Berdasarkan model cognitif-behavior pada sensasi trauma, dimana jenis jaringan ketakutan: "sensasi trauma (T), kognisi bencana (C), asosiasi metaforis (M), dan kondisi interoceptive langsung ke psikologis dan takut somatik (I) "(Hinton et aL, 2006, hal. 271). penilaian fungsional dapat menentukan mekanisme sebab-akibat rasa takut yang menghasilkan isyarat dan asosiasi selanjutnya dengan kenangan. Pengobatan budaya disesuaikan termasuk kesadaran, fokus pada keadaan sekarang, dan mengamati sikap observasional dan mengontrol fokus perhatian (Hinton et al., 2006).
Terapi cognitif-behavior pada klien yang mengalami gangguan panik terdiri dari penjelasan psikologi pendidikan model bio-psikososial gangguan panik, latihan relaksasi, strategi coping kognitif, paparan interoceptive untuk sensasi somatik in vivo exposure (Bariow, 2002)  
Hubungan kepercayaan budaya Amerika dalam proses terapeutik menunjukkan bahwa budaya yang disesuaikan dengan terapi cognitif-behavior efektif untuk klien Afrika Amerika, dan keuntungan pengobatan mereka yang mirip dengan klien Kaukasia Amerika. Contoh-contoh ini menunjukkan kelayakan dan efektivitas budaya disesuaikan terapi cognitif-behavior untuk gangguan kecemasan. Pada beberapa titik keputusan klinis, terapi/peneliti dapat mengembangkan hipotesis untuk klien dan penyelidikan untuk kontribusi variabel kontekstual. Sebagai bagian dari metode formulasi kasus, terapis mengumpulkan data yang idiographic dari klien dan informan lainnya (Bruch & Bond, Nezu, Friedman, & Haynes, 1997; People & Tompkins, 1997). Pendekatan berupa langkah membantu terapis dengan penilaian klinis dalam tujuh domain: (a) daftar masalah, (b) keyakinan inti (c) mempercepat dan mengaktifkan situasi, (d) hipotesis kerja; (e) asal-usul atau sejarah awal masalah, (f) rencana perawatan, dan (g) diprediksi hasil pengobatan (People & Thompkins, 1997).

Daftar Pustaka 

Gielen, Uwe P, Draguns, Juris P, Fish, Jeffersoon M (editor). 2008. Priciple Of Multicultural Counseling And Therapy. United States : Taylor & Francis Group, LLC